preman tj priuk
Pasca kemerdekaan Indonesia, Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara memasuki zaman yang rawan dengan kekerasan dan tindak kriminal. Sebagian besar pelakunya merupakan eks pejuang laskar yang kehilangan pekerjaan karena revolusi telah usai. Mereka yang tidak terakomodir dalam institusi resmi militer memilih “dunia kekerasan” untuk menyambung hidup.
Daerah-daerah ekonomi seperti Senen, Meester Cornelis, Tanah Abang, dan Tanjung Priok, menjadi tempat menyandarkan kebutuhan hidup. Mereka menjajakan diri sebagai penjaga keamanan, centeng alias jagoan.
Daerah-daerah ekonomi itu menjadi lahan perebutan kekuasaan, baik antarindividu maupun antarorganisasi pengelola keamanan. Hal ini yang menjadi penyebab utama daerah tersebut dinamakan oleh masyarakat umum waktu itu sebagai daerah onderwereld (dunia hitam) yang dianggap seram dan menakutkan.
Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama Kota Jakarta menjadi salah satu lumbung ekonomi yang dipenuhi para jagoan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang etnis. Secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota JakartaPara buruh menganggap mandor sebagai tokoh jago yang dituakan. Bahkan dianggap sebagai pemimpin dari kalangan etnisnya. Hal ini pula yang dialami Lagoa sewaktu menjadi Mandor Pelabuhan Tanjung Priok. Tidak hanya di kalangan etnis Bugis-Makassar saja, Lagoa juga dipandang sebagai tokoh masyarakat yang punya kharisma oleh etnis lain yang ada di seputar Pelabuhan Tanjung Priok. Di Pelabuhan Tanjung Priok juga terdapat tokoh lain berasal dari etnis Banten yang berprofesi sebagai mandor, yaitu Haji Tjitra yang bernama lengkap Haji Tjitra bin Kidang. Namanya sudah kondang sebagai penguasa penguasa Pelabuhan Tanjung Priok sejak akhir tahun 1920-an yang direbutnya melalui pertarungan sengit dengan jago yang juga berasal dari Banten. Kedatangan Lagoa di Pelabuhan Tanjung Priok sedikit banyak mengusik “pendaringan” Haji Tjitra bin Kidang. Sebab itu perseteruan kedua tokoh ini legendaris di Pelabuhan Tanjung Priok. Kerap kerusuhan sering terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok karena perebutan kekuasaan dari dua mandor berbeda etnis ini, tidak sekali dua kali mengakibatkan korban nyawa yang menghiasi berita di koran-koran Ibu Kota kala itu. Cerita kedua tokoh Mandor Pelabuhan Tanjung Priok dari berbeda etnis ini meski diawali dengan perseteruan namun berakhir dengan harmonis. Keduanya mampu menjadi tokoh perdamaian peredam konflik yang pernah terjadi di antara etnis Bugis-Makassar dan Banten, bahkan dengan komunitas etnis lainnya.
Comments
Post a Comment